Lebih dari itu, mereka juga melakukan kritikan terhadap tradisi Arab klasik (Naqd Turats Araby) yang mereka anggap sudah usang dan tidak relevan dengan kondisi masyarakat beragama kekinian dan harus diganti dengan pola kebaharuan modernisasi, termasuk dalam paradigma yang bersifat pemahaman keagamaan. Gagasan dan ide pembaruan yang mereka tawarkan adalah melakukan reinterpetasi atau pembacaan ulang terhadap tafsiran Alqur’an yang telah dihasilkan oleh para ulama klasik diganti dengan tafsiran kekinian yang menurut mereka bisa disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan zaman. Jika ingin ditarik lebih awal, munculnya gagasan pembaruan Islam ini bisa diawali dari pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Selanjutnya, masa Ali Abdur Raziq dan Rif’at Tahtawi juga mempunyai pengaruh terhadap ide-ide modernisasi berpikir di Mesir. Berlanjut era Thaha Husien hingga Amin al-Khouli, Nasr Hamid Abu Zaid, hingga Hasan Hanafi. Ide-ide gagasan pembaharuan sekulerisme dan liberalisme di Mesir dan dunia Arab banyak mendapat pengaruh saat para inteletual Mesir bersentuhan dengan filsafat-filsafat barat serta pengaruh kajian orientalis barat terhadap Islam ketika pulang dari berstudi di Prancis atau pun Amerika.
Baca Juga : Catatan Sejarah – Kemajuan Ilmu Dalam Islam
Ide dan gagasan itu tumbuh dan berkembang subur di era tahun 70-an. Namun, seiring memasuki era 90-an, pemikiran itu sudah mulai usang dan mulai ditinggalkan. Kini memasuki era tahun 2000-an, dunia Arab khususnya Mesir, pemikiran liberalisme dan sekulerisme sudah tidak terlalu laku dan diminati lagi. Bahkan, sudah dianggap semacam ‘sampah’ yang tidak mampu dipertahankan dan diambil kemanfaatannya. Ironisnya di Indonesia, pemikiran itu justru digandrungi oleh para intelektual muda yang banyak berguru dengan Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, dan lainnya yang sejatinya para tokoh ini tidak diterima pemikirannya di negara mereka masing-masing. Dari sekian banyak penggiat dan pengusung ide dan gagasan liberalisme dan sekulerisme di dunia Arab, penulis hanya memaparkan nama tokoh dan salah satu dari pendapatnya yang memicu polemik. Pemikiran kontroversialnya: dia meragukan kebenaran kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Menurutnya tidak ada bukti otentik yang bisa dijadikan sumber kebenaran sejarah, meski Alqur’an telah menyebutkannya. 2. Ali Abdur Razieq.
Pemikiran kontroversialnya: Islam tidak memiliki konsep tentang negara Islam. Pemikiran kontroversialnya: Deskontruksi pemikiran klasik. 4. Mohammed Ahmad Khalfallah. Pemikiran kontroversialnya: Kisah-kisah di dalam Alqur’an hanya bersifat fiktif. 5. Nasr Hamid Abu Zayd, Mesir. Pemikiran kontroversialnya: Al-Muntaaj Ats-Saqafi; Al-Qur’an adalah produk budaya. 6. Mohammed Shahrur, Damaskus Syiria. Pemikiran kontroversialnya: aurat itu hanya sebatas dada dan bagian kemaluan. Pemikiran kontroversialnya: menolak poligami. Pemikiran kontroversialnya: Sekularisme adalah dasar wahyu, Ketidaksetujuan pada ayat-ayat pengharaman, Lafaz kata ‘Allah’ mengandung kontradiksi, Perdamaian (As-Salam) lebih baik daripada Islam, Lafaz-lafaz usul Fikh memperalat manusia, Tidak ada kesucian pada Alquran dan Hadist, Hijab adalah hambatan. Pemikiran kontroversialnya: Kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah hanyalah bersifat Tajribatul Madinah (pengalaman Madinah). Lalu sebagai gantinya ia memakai Alqur’an dengan berdasarkan Tajribatul Urubbiyah (pengalaman Eropa). 10. Aminah Wadud, Libya.
Di samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara Khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan).
Perbedaan etnis ini sering kali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama. Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol).
Ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abd al-Rahman al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd al-Rahman al-Ausath, Muhammad ibn Abd al-Rahman, Munzir ibn Muhammad, dan Abdullah ibn Muhammad. Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik dibidang politik maupun bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abd al-Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.
Pemikiran filsafat juga mulai pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman al-Ausath. Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesahidan (Martyrdom). Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga.